Advertisemen
Pengertian Secara Etimologi (Lughatan)
Kata
Tauhid secara bahasa berasal dari kata “Wahada” (وحد) yang
berarti angka bilangan pertama 1 (satu), atau bisa berarti sendiri “al-Wahid”
(الواحد) seperti dalam ucapan, “فصلّينا وُحدانا” kata “Wuhdan”
adalah bentuk plural (jama’) dari kata al-Wahid.
Selain itu kata “Wahada” juga bisa berarti
tunggal atau esa, seperti perkataan “"والله الواحد الاحد yang
berarti Allah mempunyai sifat esa dan tunggal. Kemudian perubahan kata “Wahada”
selanjutnya bisa menghasilkan kata “al-Tauhid” (التوحيد) yang berarti iman kepada Allah yang esa dan tidak ada
sekutu bagi-Nya.
Tauhid
bisa juga berarti ibarat yang dengannya sesuatu itu menjadi satu. Atau hukum yang menjadikan sesuatu itu bersifat tunggal (esa), dan keesaannya
telah diketahui. ‘Aly bin Muhammad bin ‘Aly al-Jurjani menjelaskan dalam
kitabnya al-Ta’rifat menambahkan penjelasan, “Menurut para ahli Ilmu Haqiqah,
Tauhid adalah memurnikan Dzat Ilahi (Allah) dari segala bentuk gambaran yang
terdapat dalam pikiran, dan segala macam angan-angan yang terlintas dalam
benak”. Dan menurutnya, Tauhid meliputi tiga hal yaitu: Pertama, mengetahui
rububiyahnya Allah. Kedua, berikrar atas Keesaan-Nya. Ketiga, menafikan adanya
sekutu bagi-Nya.
Pengertian Secara Terminologi (Ishtilahan)
Beberapa
ulama memberikan pendapat yang berbeda-beda sesuai dengan argumentasi mereka
masing-masing tentang definisi Ilmu Tauhid:
Dalam
kitabnya yang berjudul Tahdzib al-Kalam, al-Taftazani memberikan definisi
kepada ilmu ini dengan, “al-‘Ilmu bi al-‘Aqaid al-Diniyyah ‘an al-Adillat
al-Yaqiniyah”. Yaitu Ilmu yang membicarakan
bagaimana menetapkan kepercayaan-kepercayaan keagamaan (Agama Islam) dengan
memaparkan dalil atau bukti-bukti yang meyakinkan.
Muhammad
‘Abduh (w. 1323 H / 1905 M) mendefinisikan Ilmu Tauhid sebagai : “Ilmu
yang membicarakan tentang wujud Allah, sifat-sifat yang wajib, mustahil dan
yang mungkin ada pada Allah. Membicarakan tentang rasul-rasul Allah, untuk
menetapkan kerasulannya dan mengetahui sifat-sifat yang wajib, mustahil dan
yang mungkin ada pada rasul”. Melalui Ilmu Tauhid ditetapkan akidah-akidah
agama dengan dalil-dalil, menolak yang syubhat, dan menentang musuh-musuh ilmu
tauhid dengan dalil-dalil yang qath’iy (pasti) dari al-Qur’an dan Sunnah. Ilmu
Tauhid juga diarahkan untuk menetapkan hakikat agama melalui dalil-dalil akal.
Sedangkan
Menurut Ibnu Khaldun, Ilmu Kalam adalah Ilmu yang mengandung hujjah-hujjah
(pemaparan) untuk membela aqidah keimanan dengan menggunakan dalil-dalil yang
rasional dan berisikan bantahan terhadap ahli bid’ah yang keyakinannya
menyimpang dari keyakinan madzhab salaf dan
keyakinan penganut ahli sunnah wal jamaah. Yang dimaksud dengan aqidah keimanan
disini adalah Tauhid atau mengesakan Allah.
Pendekatan
yang kemudian dipakai adalah mengedepankan ungkapan-ungkapan yang logis dan
rasional sehingga maksud atau tujuan dari ilmu ini, yaitu menghasilkan penguatan
terhadap keimanan atas keesaan Allah Swt. dapat dicapai dengan cara yang paling
singkat dan mudah. Ibnu Khaldun kemudian mencontohkan dengan argumentasi,
“Semua peristiwa yang terjadi di alam semesta baik itu berupa dzat maupun
perbuatan manusia dan hewan, pasti mempunyai sebab yang mendahuluinya. Dan
sebab yang mendahului tersebut pasti terjadi karena sebab yang lain. Demikian
seterusnya, rangkaian sebab dan musabab ini naik ke atas sampai kepada sang
penyebab pertama, Yaitu Allah Swt.”[6]
Rangkaian ini, jika tidak diakhiri pada sebuah penyebab utama yang
keberadaannya wajib ada (wajibul wujud) maka akan terjadi Daur
atau Tasalsul. Dan ini mustahil.
Pendapat
lain mengatakan bahwa Ilmu Tauhid adalah ilmu yang membahas tentang dzat Allah
dan Rasul-Nya dari sisi apa saja yang wajib, mustahil dan yang jaiz (boleh)
disematkan kepada keduanya. Dan juga membahas segala perkara al-Sam’iyat
yang disabdakan oleh penutup para nabi, yaitu Nabi Muhammad Saw.
Membahas
tentang dzat Allah Swt. Berarti mempelajari segala hal yang wajib disematkan
kepada-Nya seperti sifat-sifat kesempurnaan, Asmaul Husna. Dan mempelajari
kekurangan-kekurangan (Naqais) yang mustahil ada pada Allah serta mempelajari
segala sifat jaiz yang dimiliki-Nya, seperti menciptakan makhluk, member rizki,
menghidupkan dan mematikan.
Membahas
tentang Rasul berarti mempelajari sifat-sifat kesempurnaan basyariyah (yang
dimiliki manusia) yang wajib dimiliki seorang Rasul dan segala perkara yang
mustahil disematkan kepadanya karena bertentangan dengan misinya sebagai
penyampai wahyu kepada umat manusia, serta perkara lumrah (jaiz) yang dimiliki
seorang Rasul sebagai seorang makhluk (manusia) seperti mu’jizat, makan, minum,
sakit dan lain sebagainya.
Membahas
perkara al-Sam’iyat berarti mempelajari perkara-perkara yang tidak bisa
diketahui oleh akal manusia kecuali melalui berita yang dibawa oleh Nabi
Muhammad Saw. seperti alam barzakh, akhirat, kiamat dan perkara-perkara ghaib
lainnya.
Ada juga ulama yang mendefinisikan Ilmu Tauhid adalah Ilmu yang memberi kemampuan
untuk menetapkan aqidah agama (Islam) dan menolak Subhat dengan mengajukan
argumentasi-argumentasi untuk melenyapkan keraguan-keraguan.
Dari
beberapa definisi yang dipaparkan oleh ulama diatas dapat disimpulkan bahwa
Ilmu Tauhid adalah ilmu membicarakan tentang wujud Tuhan, dari segi sifat-sifat
yan wajib, mustahil atau boleh disematkan kepada-Nya, dan membicarakan tentang
rasul-rasul Allah serta perkara yang tidak bisa diketahui kecuali melalu sabda
Nabi Muhammad Saw. Semua itu disampaikan melalui argumentasi yang bernalar dan
berlogika dengan didukung oleh bukti-bukti atau dalil yang meyakinkan baik aqli
maupun naqli.
Nama-nama
dari Ilmu Tauhid dan sebab penamaannya
1. Ilmu Tauhid
Karena objek kajiannya yang paling utama adalah Tauhid (mengesakan) Allah
Swt.
2. Ilmu Ushuluddin
Karena ilmu ini membahas perkara yang pokok (ushul) dalam agama, bukan
perkara lain seperti hukum-hukum cabang dari syari’at (Fiqh).
3. Ilmu Fiqh al-Akbar
Karena sebagai lawan dari Ilmu Fiqh al-Asghar yang mempelajari tatacara
Ibadah dan Muamalah.
4. Ilmu ‘Aqidah
Karena ilmu ini mempelajari tentang keyakinan-keyakinan (Aqidah) yang benar
dan wajib untuk diimani.
5. Ilmu Kalam
Ada beberapa alasan yang melandasi penamaan ini diantaranya adalah:
a. Pembahasan yang
panjang dikalangan umat islam tentang sifat Kalamullah, apakah bersifat Qadim
(terdahulu) atau Makhluk.
b. Ilmu ini menuntut
kemampuan orang yang mendalaminya dalam berertorika atau berargumentasi
(kalam), sehingga mampu meneguhkan akidah keimanan dan menolak subhat yang
dibuat oleh orang yang ingkar.
c. Karena ulama-ulama
awal yang merintis disiplin ilmu ini mengalamatkan karyanya dengan istilah;
al-Kalam fi ‘Ilmillahi Ta’ala, al-Kalam fi al-Nubuwah, dan sebagainya.
6. Teologi Islam
Karena teologi membicarakan dzat Tuhan dari segala aspeknya dan teologi bersifat sangat luas. Dengan sifatnya yang luas ini jika dipautkan dengan islam menjadi terma Teologi Islam dan memiliki pengertian yang sama dengan Ilmu Tauhid.
Karena teologi membicarakan dzat Tuhan dari segala aspeknya dan teologi bersifat sangat luas. Dengan sifatnya yang luas ini jika dipautkan dengan islam menjadi terma Teologi Islam dan memiliki pengertian yang sama dengan Ilmu Tauhid.
Objek Kajian Ilmu Tauhid
Objek
kajian Ilmu Tauhid adalah perkara yang sudah diketahui (al-Ma’lum)
mempunyai hubungan dengan Aqidah Agama Islam.
Lebih jelasnya, perkara tersebut terangkum dalam Enam Rukun Iman.
1. Ilahiyat (masalah ketuhanan).
Masalah ketuhanan ini mengkaji pembahasan yang
berhubungan dengan Allah Swt. Diantaranya:
a. Dzat Tuhan
b. Nama dan sifat Tuhan
c. Perbuatan Tuhan.
2. Nubuwat (masalah kenabian)
Pokok kajiannya meliputi:
a. Sifat-sifat nabi dan rasul
b. Mu’jizat
c. Nabi-nabi yang diutus dan keistimewaannya
3. Sam’iyat yaitu hal-hal yang tidak mungkin diketahui kecuali ada informasi yang
disampaikan oleh para Nabi.
disampaikan oleh para Nabi.
Perkara yang masuk dalam kajian ini adalah:
a. Azab kubur
b. Malaikat
c. Neraka
d. Surga
e. Yaum al-Hisab
f. Jin
Manfaat Ilmu Tauhid
[1]
Ibnu Manzûr, Muhammad ibn Mukarram, Lisân al ‘Arab,Vol. VI, Juz 51, (Beirut: Dâr al Shâdir, tt.), 4779-4781.
[2] Wahbah, Murad,
al-Mu’jam al-Falsafy, (Cairo, Dar Quba’ li al-Thiba’ah wa al-Nasr wa al-Tauzi’,
1998), 234.
[3] Al-Jurjani, ‘Aly bin Muhammad bin ‘Aly, Kitab al-Ta’rifat, (Beirut,
Dar al-Ma’rifah, 2007), 68.
[4] Al-Taftazani, Sa’d al-Din Mas’ud bin Umar bin Abd al-Allah, Tahdzib
al-Kalam (Cairo, Al-Azhar University, 2004), 7.
[5] Abduh, Muhammad, Risalat al-Tauhid, (Cairo, al-Hay’at al-‘Ammah Li
Qushur al-Thaqafah, 2000), 5.
[6] Ibn Khaldun, Abd al-Rahman Muhammad bin Muhammad, Muqaddimah, Vol.
III, (Cairo, al-Hay’at al-Mashriyah al-‘Ammah li al-Kitab, 2006), 966.
[7] Jauhari, Muhammad Rabi’ Muhammad, ‘Aqidatuna, Vol. I, Cet. IX, (Cairo,
Al-Azhar University, 2004), 18.
[8] Ibid, 19.
[9] Al-Taftazani, Tahdzib, 8.
[10] Pertama; Iman kepada Allah, kedua; Iman kepada Malaikat, ketiga; Iman
kepada Kitab, keempat; Iman kepada Rasul, kelima; Iman kepada Hari Akhir,
keenam; Iman kepada Qadha’ dan Qadar.
[11] Jauhari, Aqidatuna,
19.
[12]
Al-Taftazani, Tadzhib, 8.
Add Comments